Tiga Hal Mendasar Agar Bisnis Franchise Anda Profitable & Sustainable

Tiga Hal Mendasar Agar Bisnis Franchise Anda Profitable & Sustainable

Oleh: Mohammad Iqbal, Founder & CEO Barapi Group.

Sepanjang pengalaman saya menekuni usaha kuliner, terutama di level UMKM, saya melihat bisnis Food & Beverage di Indonesia itu makin maju, tumbuh dan berkembang sejak di awal tahun 2000-an. Ditandai dengan bermunculannya berbagai brand kuliner dan menjamurnya franchise atau waralaba usaha kuliner.

Semenjak itu hingga saat ini, bisnis dan start up kuliner makin tumbuh bermunculan, berkembang, tumbang, jatuh dan muncul lagi, bertahan beberapa bulan atau kurang dari setahun, lalu tumbang lagi.

Ada juga yang mampu bertahan tapi umumnya tidak survive setelah tahun ke-5. Bahkan banyak juga yang gulung tikar sebelum genap 1 tahun.

Tentunya sebagai pegiat F&B business, saya senang mengetahui ada beberapa brand kuliner lokal yang mampu bertahan, survive, tumbuh bahkan scale-up hingga ratusan cabang, bukan hanya satu-dua tahun, tapi sudah melewati belasan tahun. Sebut saja brand Bakmi GM, Bakmi Naga, d’Besto, Hisana, JCO, , Holland Bakery dan lain sebagainya.

Saya juga menginginkan Indonesia memiliki brand kuliner lokal yang mampu berkembang hingga kancah Internasional, membuka cabang dan gerai-gerainya hingga ke luar negeri. Brand kuliner yang go Internasional inilah yang membanggakan dan membawa nama baik bangsa Indonesia. Sehingga dengan menyebutkan saja nama brand tersebut, pikiran orang langsung terbawa kepada image Indonesia. Sebagaimana ketika kita menyebut nama brand McDonald atau brand Marriott, maka yang terbesit adalah nama negara Amerika Serikat.

Namun sayangnya, belum banyak brand-brand kuliner asli kelahiran Indonesia yang tembus ke kancah Internasional. Jumlahnya masih bisa dihitung jari.

Lantas bagaimana dengan banyaknya brand-brand kuliner lokal yang masih berusasha tumbuh membuka cabang dengan cara franchise, waralaba dan kemitraan?

Ya, memang sudah sangat-sangat banyak bisnis kuliner anak negeri yang di–franchise-kan atau di-mitra-kan, akan tetapi seperti yang saya kemukakan di awal, kebanyakan bisnis franchise kuliner tersebut tidak mampu sustainable dan tidak pula profitable.

Bisa jadi, bisnisnya ramai saat grand opening, tapi pada bulan-bulan selanjutnya penjualan mulai menurun dengan pasti. Pelanggan nya pun lambat laun meninggalkannya.

Bisa jadi bisnisnya bertahan hingga 1-2 tahun atau mampu bertahan hingga tahun ke-5, tapi pada akhirnya banyak yang tutup pada usia menginjak tahun ke-6.

Yang lebih parah lagi, usaha kuliner sejak awal dibuka sudah sepi, tidak banyak peminat, menjalani 2-3 bulan saja, selanjutnya pun tidak mampu bertahan dan akhirnya harus diambil keputusan pahit; tutup usaha.

Nah, kenapa bisnis franchise kuliner atau layanan makanan (F&B Service) di Indonesia kebanyakan tidak sustainable? Berdasarkan pengalaman saya belasan tahun mengelola, menjalankan dan mengoperasionalkan bisnis franchise dan juga membangun brand kuliner ciptaan sekaligus milik sendiri, ada beberapa alasan mendasar yang menyebabkan usaha makanan-minuman franchise dan kemitraan di Indonesia tidak berjalan dengan sukses, tidak sustain, kandas di tengah jalan dan akhirnya berguguran meskipun pernah viral plus booming dan membuka ratusan cabang di berbagai kota.

1. Tidak memiliki SOP, sistem operasional, business process yang baik dan teruji.

SOP yang dimaksud adalah yang tertulis, baku, dan teruji aplikatif, serta mampu menjawab kebutuhan operasional di semua lini.

SOP ini tidak hanya pada tataran operasional di kitchen area, dining area, reception/cashier atau front line, tetapi juga harus meliputi SOP dan business process di divisi lainnya, yaitu Finance & Accounting, Marketing & Sales, Maintenance & Engineering, Supply Chain & Distribution, Warehose & Inventory dan Loyalty Program.

 

Untuk membangun SOP yang efisien dan aplikatif tentu bukanlah perkara mudah dan pastinya tidak instan, perlu konsistensi dan kerja keras jangka panjang, diuji oleh berbagai kondisi dan tantangan, membutuhkan waktu pendewasaan dan pematangan yang cukup lama. Memerlukan kesabaran, keuletan dan ketahanan oleh semua tim dan stake holder terkait.

2. Tidak Didukung oleh Organisasi yang Diisi Orang-Orang Kompeten

Meski telah memiliki SOP dan sistem operasional serta business process yang baku dan memadai, namun bila suatu bisnis tidak dilengkapi dengan struktur organisasi yang sesuai dan yang dibutuhkan oleh kebutuhan usaha, terlebih organisasi tersebut tidak diisi oleh orang-orang yang kompeten dan mumpuni dibidangnya, maka SOP hanyalah sekadar nama.

SDM yang kompeten lah yang akan memastikan SOP dan system itu dijalankan. Tanpa adanya SDM-SDM yang kompeten dan ahli di bidangnya, maka SOP hanyalah sekadar tumpukan dokumen tebal yang tidak akan diterapkan dengan baik dan konsisten.

Saking vitalnya posisi dan fungsi SDM yang kompeten, tidaklah berlebihan bagi grup usaha Barapi mendeklarasikan gerakan yang mereka sebut sebagai The Guardian of SOP”. Hal ini dimaksudkan bagi perusahaan untuk mengkampanyekan pentingnya merekrut, melatih, mendidik dan membudayakan semua associate-nya (karyawan) untuk senantiasa menegakkan pelaksanaan SOP secara rigid dan konsisten.

Barapi Group benar-benar memahami betapa pentingnya dan vitalnya menjaga semua aturan dan system untuk selalu berjalan secara baku tanpa adanya penyelewengan sedikitpun. “The Guardian of SOP”menjadi gerakan harga mati sekaligus “sihir yang ampuh” di semua divisi, demi memastikan kualitas produk dan layanan perusahaan sudah benar-benar sesuai dengan standar SOP yang telah ditetapkan.

3. Target atau KPI yang Terukur Secara Kuantitatif

Anggap saja sudah memiliki system operasional yang tertulis, baku dan aplikatif, juga memiliki struktur organisasi dan fungsi-fungsi manajemen yang memadai, serta didukung oleh individu-individu yang kompeten dan professional. Namun, bila tidak ada target-target yang dicanangkan, berupa Key Performance Index (KPI) yang disepakati bersama, maka bisnis biasanya akan berjalan tanpa kontrol, tanpa kendali, tanpa tujuan dan tanpa arah.

Dengan target dan KPI yang terukur, maka tujuan-tujuan perusahaan dapat dikontrol dan dapat dikendalikan. Ada rambu-rambu, indikator dan tolak ukur untuk mengetahui bahwa goal & objective suatu bisnis kuliner itu tercapai atau tidak.

Contohnya, di Barburger by Barapi, yang memberikan target penjualan sekian ratus juta, target TC (Total Check) sekian ribu dan target APC (Average per Check) sekian puluh ribu rupiah kepada para Restoran Manager untuk dicapai setiap bulannya.

Selain indikator capaian penjualan, jumlah transaksi dan basket size, seorang Restaurant Manager di Barburger by Barapi juga dituntut untuk mencapai indikator lain, yaitu menekan COGS Rate dan daily expenses, mencapai zero complaint, menjaga cleanliness, mempertahankan speed of service, meningkatkan penjualan big order & special event, mendapatkan prediket successful & effective promotion, menekan associate turn over dan memperbesar positive profit & loss report. Semua indikator di atas harus terdata secara kuantitatif sehingga dapat terukur sukses atau tidaknya. Hanya dengan inilah perusahaan dapat menggapai target penjualan dan memperoleh profitabilitas yang positif dari tahun ke tahun. Sehingga pada akhirnya bisnis akan sustainable sepanjang masa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *